Aku duduk di tempat kita pertama kali bertemu. Tempat yang
harusnya menjadi kenangan kita berdua. Bilik kecil yang terdiri dari satu meja
dan dua bangku, tempat untuk membaca buku perpustakaan. Sebelum mengenalmu, ini
adalah tempat favoritku. Aku suka pemandangan di sini. Di depanku ada
pemandangan gedung-gedung tinggi, pohon-pohon hijau yang rindang, dan danau
yang airnya tak lagi biru jernih. Aku selalu datang ke sini. Kenangan yang
tercipta di sini pun berbeda-beda. Tapi, bagian yang paling penting adalah
ketika pada akhirnya aku bisa merasakan sorot matamu.
Perkenalan kita sangat instan. Kepolosanmu membuat aku
percaya, bahwa kamu adalah pria paling tepat. Aku mulai membangun mimpi,
harapan, dan keyakinan agar tidak menyia-nyiakan kebersamaan kita. Kamu humoris
dan manis, dua hal itu memang tak cukup dijadikan alasan akan hadirnya cinta.
Terlalu terburu-buru jika aku mengartikan ini semua adalah cinta, mungkinkah
kita terjebak dalam ketertarikan sesaat? Aku tak tahu, Sayang. Aku tak mau tahu
fakta-fakta itu. Jika benar ini hanya ketertarikan sesaat, mengapa aku begitu
sedih ketika kamu memutuskan untuk pisah dan mengakhiri segalanya?
Seminggu yang lalu, kamu begitu manis dan mengejutkan.
Letupan-letupan kecil perhatianmu membuat aku yang lama tak merasakan cinta
seperti tersetrum oleh energi magis. Kamu mulai ungkapkan rasa, bercerita
tentang rasa kagummu terhadapku. Diam-diam, aku sebenarnya juga mengagumimu,
tapi aku tak ingin bilang. Aku terlalu gengsi untuk mengatakan bahwa aku mulai
menyukaimu dan mulai nyaman dengan keberadaanmu di hari-hariku.
Dua hari yang lalu, kamu masih merangkul dan menggenggam
erat jemariku. Kukira aku sudah menjadi sosok yang spesial bagimu, ternyata
perkiraanku pun bisa salah. Aku belum jadi pemilik hatimu. Aku hanya persinggahan
yang tak akan kaujadikan tujuan.
Kalau boleh jujur, aku sungguh menikmati kebersamaan kita. Kebersamaan yang
terjalin dari mahluk yang bisa membuat bodoh dan pintar dalam waktu yang
bersamaan—handphone. Perhatian dan kecupan kecil yang kauselipkan dalam setiap
percakapan lewat tulisan itu membuat aku banyak berharap. Kupikir, kamu memang
punya perasaan yang serius. Iya, aku salah, harapanku terlalu tinggi. Entah
mengapa aku tak bisa berpikir jernih bahwa pria seberlian kamu tak mungkin
menaruh hati pada tanah liat seperti aku.
Tapi, terus saja kautunjukkan jalan terang. Jalan terang
yang kupikir adalah tujuan menuju kenyataan. Aku mencoba mengikuti jalan itu,
berjalan bersamamu atas nama hari, dan kita tak tahu teka-teki di balik
perbedaan yang ada di dalam kita. Satu-satunya perbedaan yang tak bisa dibatasi
adalah agama, meskipun cinta berperan besar, tapi agama pun punya peran yang
lebih besar. Ini bukan alasan yang cukup logis untuk mengakhiri segalanya. Aku
mulai mencintaimu, sederhana. Tapi, mengapa hal yang kaubilang bisa “dibikin simple” ini malah merumitkan segalanya?
Kamu memilih pergi tanpa alasan yang benar-benar kupahami.
Kamu memilih pergi, ketika aku mulai menyayangimu dan terus ingin
memperjuangkan kamu. Bayangkan, semua hanya terjadi satu minggu! Begitu
singkat! Kamu pergi ketika aku mulai mengerti bahwa ini adalah cinta.
Kamu pergi ketika aku mulai berharap bahwa kebersamaan kita akan segera
memiliki status.
Kini, aku melewati hari yang berbeda. Tidak ada lagi kamu
dan perhatianmu. Tidak ada lagi kita dan segala canda yang dulu pernah ada.
Rasa sakit ini masih begitu sama. Kamu menghilang tanpa kabar. Menuduhku
sebagai dalang yang menghancurkan segalanya. Menindasku dengan anggapan bahwa
aku masih mencintai mantan kekasihku. Aku tak tahu, sungguh aku tak tahu
mengapa anggapan itu bisa tumbuh subur dalam otakmu. Sedangkan di hari-hari
kemarin, sebelum kita pisah, aku sudah menyakinkan diriku untuk selalu berjalan
ke arahmu.
Kamu tentu tahu, melupakan sesuatu yang sudah mulai melekat
bukanlah hal yang mudah. Aku tak bisa membayangkan bangun pagi dan tidur malam
tanpa ucapan-ucapan manis darimu. Aku tak ingin tahu rasanya terlelap sebelum
mendengar suaramu di ujung telepon. Aku tak ingin perpisahan, tapi Tuhan berkata
lain—kita berpisah.
Kamu pergi tanpa berkata pamit. Kamu menghilang tanpa mengizinkan
aku jujur mengenai perasaanku. Kita pernah saling berkata sayang, tapi semua
akan terasa kosong jika tak benar-benar dikatakan tanpa bertatapan mata. Aku
ingin tahu alasanmu pergi, karena sungguh alasanmu untuk pergi tak logis
bagiku. Apa aku terlalu rendah untuk mengaharapkan pria setinggi kamu? Apa aku
terlalu busuk untuk mendambakan sosok sempurna seperti kamu.
Aku memejamkan mata. Pipiku basah entah oleh apa. Jangan
suruh aku mengaku bahwa ini adalah air mata, karena kamu tak akan mengerti rasa
sakitku. Kepergianmu sudah cukup membuatku paham bahwa aku tak perlu lagi
berharap terlalu tinggi.
Masih saja aku duduk di sini, di tempat favoritku, dan tak
ada kamu di sampingku. Kita belum saling membahagikan, tapi mengapa kauinginkan
perpisahan?
Sudah dua jam aku menunggu. Kamu tak datang. Apakah
pertemuan pertama kita juga adalah pertemuan terakhir kita?
Namamu begitu indah
kudengar di telingaku.
Aku mencintaimu, Cahaya
Penunjukku.
selamat satu minggu
seusai perkenalan kita
semoga kita segera
saling merelakan dan mengikhlaskan
inikah sakitnya perpisahan?
0 komentar:
Posting Komentar