Jumat, 18 September 2015

Beda Cinta, Setipis Keyakinan

Saya mengingat lagi cerita teman saya. Baru beberapa hari saya temui dia di cafe, di bilangan Depok, Jawa Barat. Jujur, pikiran saya masih terbebani oleh cerita yang ia ungkapan. Tentang hubungannya, tentang kekasihnya, yang jauh dari kata normal. Iya, mereka berbeda, tidak sama seperti orang lainnya.
Ketika dia bercerita dengan menggunakan air mata, saya tahu bahwa beban yang ia pikul sangatlah berat. Air mata yang saya lihat hari Rabu kemarin adalah luapan emosinya yang sempat tertahan. Saya bisa rasakan sakit yang memukul-mukul perasaannya. Tapi, dalam duka, masih terselip kebahagiaan yang mampu ia ceritakan pada saya, walau dengan suara tertatih, walau dalam halaan napas lirih.
Jatuh cinta adalah dua kata yang sulit dijelaskan. Tidak terdefinisikan. Soal hati, kata-kata seakan tak ahli untuk memaparkan juga mendeskripsikan. Saya tidak akan berbicara tentang cinta, juga tentang mimpi omong kosong yang diciptakan saat hadirnya cinta. Ini semua soal kenyataan, soal dunia yang begitu klise. Agama.
Air mata memang sia-sia,  karena yang dibutuhkan di sini adalah kedewasaan. Semua berawal manis dan indah. Teman saya, awalnya memang bercerita dengan senyum sumringah. Ia berkenalan dengan seorang pria, secara tidak sengaja. Tentu saja, kita seringkali menganggap banyak hal terjadi karena kebetulan. Kebetulan mungkin adalah rencana Tuhan yang belum benar-benar kita pahami.
Tatapan mereka saling beradu, hanya senyum dan tawa yang tercipta kala itu. Teman saya, wanita beragama Khatolik tersebut, baru selesai pentas tari. Lalu, dunia berkonspirasi, mempertemukan dia dengan seorang pria, yang membuat hatinya merasa nyaman. Pria yang tiba-tiba merangsuk masuk dalam ingatan dan jengkal napasnya.
Indah memang, cinta mengubah segala yang hitam putih menjadi warna-warni. Tumpukan kebahagiaan semakin sempurna, ketika perkenalan teman saya dan pria itu berlangsung ke tahap yang lebih dalam, lebih dekat.
Segalanya terasa manis, walaupun juga terasa asing. Rasa nyaman itu kini berangsur berubah menjadi rasa takut kehilangan. Mereka berusaha untuk saling melindungi satu sama lain. Mungkin, ketika salib berada dalam genggaman tangan teman saya, dan ketika tasbih berada dalam genggaman pria itu; dengan air mata, mereka saling mendoakan.
Saya bisa rasakan kehangatan mereka. Sangat hangat. Sangat dekat. Saya iri, mengingat hubungan saya yang lebih dulu kandas termakan perpisahan. Saya dan pria di masa lalu tersebut tidak sekuat dan setegar teman saya. Oh, jadi curhat. Sungguh, saya benci membahas masa yang tak ingin saya ingat lagi. Teman saya dan kekasihnya masih terus mempertahankan walau mereka berbeda. Perbedaan keyakinan bukan alasan untuk tidak saling jatuh cinta.
Inilah yang membuat saya semakin terharu, teman saya menunggu kekasihnya salat di masjid. Ia menunggu dengan sangat sabar meskipun lirikan mata yang tajam tertuju padanya.
Dalam perbedaan, mereka saling menguatkan. Keindahan mereka sampai pada kelopak mata saya. Saya tak tahu harus berkomentar apa. Terharu? Prihatin? Sinis?
Hey, mereka berbeda dari pasangan yang lainnya. Mereka bukan pasangan bermanja-manja yang mabuk kepayang akan cinta, saling bergelayut mesra dalam pelukan. Sampah. Pacaran model cinta monyet. Teman saya dan kekasihnya sungguh berbeda, mereka punya kebahagiaan yang tak dimengerti banyak orang. Kebahagiaan yang belum tentu bisa dirasakan oleh banyak orang yang sibuk menghakimi hubungan mereka.
Apa yang membuat dua orang saling memperjuangkan jika bukan karena cinta?

0 komentar:

Posting Komentar