Aku menulis ini bersama rasa
sakit yang tidak benar-benar kamu pahami. Aku menatap laptopku dengan wajah
masam, berujung pada perasaan yang tidak berhasil kautebak. Mengertikah kamu,
perjuanganku juga butuh kepedulianmu?
Entah karena kauterlalu bodoh
untuk menilai atau terlalu egois untuk memaklumi. Aku mencoba sabar, mencoba
sabar menghadapimu. Aku berusaha bertahan, berusaha mempertahankan yang
harusnya aku lepaskan. Aku sudah menunggu sangat lama, mengharap pengertianmu
menderas ke arahku. Tapi, hal itu tak kunjung kutemui. Kamu masih begitu,
dengan omonganmu, dengan tingkahmu yang tak berubah.
Apakah kesabaran dan
perjuangan yang kulakukan benar-benar tak terlihat di matamu? Kaumengetahui
segalanya kan? Mengapa hanya diam dan bisumu yang selalu kudapati di hari-hari
kebersamaan kita?
Aku ketakutan dan kedinginan
sendirian. Kamu tak pernah ada di sini saat aku butuhkan. Aku juga tak paham
lagi, pantaskah kebersamaan kita terus aku perjuangkan? Pantaskah sosokmu
selalu kupertahankan? Jika yang kudapatkan hanya pengabaian, ketidakpedulian
dan kebohongan; bagian manakah yang bisa memberi kebahagiaan?
Kamu jauh di sana, tak banyak
yang kaulakukan selain mengirim pesan singkat atau menyapaku dari ujung
telepon. Tak banyak yang bisa kita lakukan selain saling merindukan. Rasa perih
itu semakin membesar, membentuk luka yang mungkin sulit sembuh. Semakin sering
aku tak melihatmu, ketakutanku di sini semakin menebal.
Perlukah aku membandingkan
kamu dengan pria-pria lain yang lebih pandai meluangkan waktunya untukku,
daripada sedikit waktu yang kauluangkan untukku? Kamu tak pernah peduli pada
sakitku, perihku, dan sedihku. Kaubiarkan aku menyelesaikan segalanya
sendirian. Inikah wujud kepedulian yang selalu kauributkan denganku? Mana
kepedulianmu? Mana kehadiranmu? Kosong!
0 komentar:
Posting Komentar