Jumat, 18 September 2015

Cinta datang karena terbiasa?

"Cinta datang karena terbiasa jika keterbiasaan itu terjadi dengan ketidaksengajaan" -
          Tak disangka, bulan ini dia akan menikah. Dadaku sesak. Seharusnya aku ikut bahagia ya? Sahabatku, teman baikku, cinta pertamaku akan segera menikah. Bukan dengan aku tapi dengan yang lain.
***
          "Kamu ini ya, seringnya bikin kaget! Tapi aku seneng lho secepat ini kamu akan melepas masa lajangmu."
          "Ini bukan mauku!" Jawabnya, ketus.
          "Hmm.." Aku menatapnya sebentar, lalu kembali mengetik naskah novelku. Dia mengganggu aku yang sedang berimajinasi.
          "Witing tresno jalaran soko kulino." Dia berkata dengan terbata-bata, berdiri dari bangkunya lalu berpindah tempat duduk, disampingku.
          "Datangnya cinta karena terbiasa." Aku menatapnya sebentar, menoyor kepalanya lalu kembali mengetik lagi.
          "Ih, dengerin gue dulu dong!" Dia menjambak rambutku, memaksaku, lenjeh.
          "Apaan?" Aku menatapnya ogah-ogahan dan meninggalkan naskah-naskah itu sejenak.
           "Menurut elo perjodohan itu apa?"
            "Zaman Siti Nurbaya." Jawabku, seadanya.
           "Gue dijodohin! Perjodohan itu menyeramkan! Dua orang yang tidak saling mengetahui satu sama lain dipertemukan dalam suatu waktu dan tempat. Bukan untuk perkenalan tapi untuk menentukan tanggal pernikahan! Pernikahan.. Negeri antah-berantah atau mungkin sesuatu yang lebih gila daripada rumah sakit jiwa!"
            "Kenapa elo gak nolak aja?"
            "Elo mau tahu, kenapa gue gak bisa nolak?"
            "Apa?" Jawabku, penasaran.
            "Perjodohan itu salah satu 'alat' pembahagiaan"
            "Maksudnya?"
            "Gini.. Perjodohan itu emang gak bikin gue terlalu bahagia tapi perjodohan itu bisa membuat orang-orang disekitar gue bahagia." Dia berkata dan menatapku dalam-dalam.
            "Hmm.." Ibarat paragraf, aku sudah mengetahui komplikasi masalahnya.
            "Elo tahu kan nyokap gue? Dia gak bisa bertahan hidup kalau enggak dikasih suntikan insulin berkala. Dengan perjodohan ini, gue pengen ngebuat beliau setidaknya bahagia karena menikah dengan wanita yang beliau pilihin buat gue. Nyokap gue bilang cinta itu bisa dateng kalau terbiasa. Terbiasa bertemu, terbiasa saling berbagi, terbiasa saling perhatian maka cinta akan datang dengan sendirinya." Dia menjawab semua pertanyaan yang timbul di otakku kala itu.
            "Tapi ini berat!" Dia berkata padaku dengan nada tinggi.
            "Kenapa?" Aku kembali bertanya padanya.
            "Gue harus ninggalin sesuatu yang menurut gue bisa bahagiain gue secara penuh. Termasuk seorang wanita yang selama ini mengisi kekosongan hati gue."
            "Kalau tujuannya mulia, Tuhan pasti ngasih yang terbaik buat elo. Walaupun elo harus ninggalin semua hal yang menurut elo bisa membuat elo bahagia." Aku berusaha menenangkannya, walaupun aku juga merasa miris dan getir.
***
          Tanpa ditunggu pun, pernikahan itu terjadi. Aku melihat disana, seorang laki-laki dan seorang perempuan duduk di pelaminan, diberi hujanan ucapan dan salaman kebahagiaan dari semua tamu undangan.
          Aku melihat cinta pertamaku, duduk dipelaminan bukan denganku tapi dengan yang lain. Aku berjalan ke pelaminan untuk memberikan ucapan. Sulit memang, menahan perkataan hati yang berkecamuk saat itu, menahan air mata agar tidak mempermalukan aku di depan dia, cinta pertamaku. Dan jika air mata itu jatuh di depan dia, aku akan berkata bahwa ini adalah air mata bahagia.
***
          6 tahun berlalu. Aku masih sendiri dan masih menyukai menulis. Buku terbaruku laris dipasaran dan cetakan pertama terjual habis selama 1 bulan. Bagaimana dengan dia? Dia hidup bahagia dengan istri dan kedua anaknya di Brunei Darussalam, dia bekerja sebagai salah satu petinggi perusahaan perminyakan di daerah sana.
          Hari ini, dia berkunjung ke Indonesia. Pulang kampung katanya. Melalui chat YM, dia berjanji akan menemui saya setelah menemui ibunya yang kesehatannya berangsur membaik.
***
          "Udah lama ya?" Aku segera duduk disampingnya dan mengulurkan tangan.
          "Cuma salaman? Udah lama gak ketemu juga!" ia menatapku hangat lalu mencium pipiku, "Jangan bilang istriku ya!"
          "Apaan sih! Emang istrimu bakal mutilasi kamu kalau kamu cuma nyium pipi sahabatmu? Hahaha." Candaku membuat dia juga ikut tertawa.
          "Haha. Jadi elo masih single ya?" Dia mengawali pembicaraan.
           "Orang mah kalau baru ketemu itu nanya kabar, bukan nanyain status! Iyeee single haha kenapa?" Aku menjawab pertanyaannya dengan ringan.
           "Tahan banget!"
           "Well, masih banyak yang harus gue kejar. Masih banyak orang yang harus gue bahagiain."
            "Jangan terlalu keasikan sendirian lo!"
            "Cerewet! Gimana kabar istri lo dan anak lo?" Aku bertanya.
            "Istri gue baik. Anak gue udah 2. Yang pertama udah 4 tahun, yang kedua masih 2 tahun. Gimana buku lo? Masih tentang cinta-cintaan lebay? Hahaha" Jawabnya seadanya, benar-benar tidak berubah sejak 6 tahun berlalu!
            "Cinta itu MISTERIUS, ga bisa dipegang tapi kerasa nyata. Makanya gue gak berhenti buat menulis tentang cinta."
            "Oh." Jawabnya pendek, sepertinya dia tidak tertarik dengan pernyataanku.
            "Witing tresno jalaran soko kulino. Cinta datang karena terbiasa. Jadi, cinta itu sudah datang kan!" Aku berusaha mengalihkan pembicaraan ke bahan pembicaraan yang menurutku ringan-ringan saja.
            Dia terdiam dan menatapku kosong. Apa aku salah bicara? Ups.. Sepertinya aku melakukan suatu kesalahan!
            "Belum." Dia menjawab sambil memakan hidangan masakan yang sudah tersedia di depan kami. Tidak berselera.
            "Gue salah ngomong ya?" Aku kagok, terdiam.
            "Ternyata lo masih inget tentang cerita gue yang perjodohan itu ya?"
            "Iya. Karena cerita lo itu bukan main-main."
            "Tujuan gue gak nolak perjodohan itu bukan cuma gue pengen membuat nyokap gue bahagia tapi gue juga pengen segera punya keluarga dan anak, cuma itu..." ucapnya dengan napas yang ditenang-tenangkan, agar terdengar tak terlalu menyedihkan, "Istri gue bisa memberikan itu semua dan dengan pernyataan cinta datang karena terbiasa itu, gue percaya suatu saat gue bisa mencintai istri gue dengan tulus...." ia menghela napas, mencoba merangkai kalimat yang pas, "Tapi semua berjalan gak sesuai kemauan gue. Istri gue, anak gue, kebahagiaan nyokap gue, semua kosong! Gue membiarkan semua mengalir tanpa pilihan gue. Buat menyesal bener-bener udah telat. Dan bodohnya lagi, bagian hati gue masih diisi dengan wanita itu, bukan dengan istri gue!" Dia menjawab pertanyaanku dengan lengkap. Aku merasa bersalah.
            "Sorry lho, gue gak maksud ikut campur soal kehidupan pribadi lo. Kita ganti topik ya?" Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.
            "Mungkin ini saatnya gue ngasih tahu lo. Elo mau tahu siapa wanita yang bertahun-tahun mengisi kekosongan hati gue?" Dia menjawab pertanyaanku dan membuatku penasaran.
            "Nggg.. Rahasia hati lo, jangan dibuka ke gue! Gue comel lho! Haha"
            "Tapi elo harus tahu!" Dia berkata dengan sangarnya dan begitu memaksa!
            "Siapa?" Aku bertanya dengan nada penasaran.
            "Elo.." Dia menjawab pendek tapi mengagetkan!
            "Gue? Lucu lo! Makan yuk!" Aku tidak percaya dengan jawabannya yang membuat dia terlihat bodoh.
            "Gue suka cara lo memandang gue. Gue suka kebiasaan lo saat bertemu gue. Gue suka kebiasaan lo berbagi sama gue. Gue suka kebiasaan lo memberi perhatian ke gue. Cinta datang karena terbiasa jika keterbiasaan itu terjadi tanpa ketidaksengajaan. Tapi, semua kebiasaan yang terjadi secara tidak sengaja bersama lo, gue jadi tahu cinta itu segila apa!" Jawabannya membuat aku shock! Aku seperti tidak percaya dengan semua yang dikatakannya. Aku terdiam, tidak bisa berhenti menatapnya, sesak.
            "Dan untuk hal yang terparah, bodoh dan tololnya, gue ngerasain hal yang sama.Cinta itu gila, dia membuat kita ga rasional! Jujur, gue pengen banget menikah dengan cinta pertama gue, tapi ternyata dia keburu menikah dengan orang lain." Tanpa sengaja aku berkata padanya, benar-benar lisan dan tanpa kesengajaan.
            "Siapa?" Dia bertanya padaku, penasaran.
            "Elo lah! Pake nanya lagi!"
            Beberapa detik kami butuhkan untuk saling menatap. Sorotan matanya tergeletak lemah dimataku. Dia mengulurkan tangannya ke bahuku. Dia menatapku dalam dan lekat, memelukku dengan erat. Suami orang lain, cinta pertamaku, saat ini memelukku dengan erat. Tak pernah aku merasa sehangat itu.

0 komentar:

Posting Komentar